Dalam kitab
Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul
Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi)
adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan
keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan
besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan
tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar
sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin
teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam
Islam. Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya, serta
dalam serangkaian suratnya yang hingga kini masih ada, yang ditujukan kepada
sejumlah tokoh pada masanya.
Abul Qasim
Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh.
Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam
Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu
tahun 297H/910M.
Masa Kecil Junayd
al-Baghdadi
Sejak kecil,
Junayd telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan
yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan
memiliki intiusi yang tajam.
Suatu hari, ia
pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya
Junayd. “Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah.
“Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan
seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini, namun ternyata uang ini
tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan
aku akan memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau
menerimanya,” kata Junayd.
Sang ayah
memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah
pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari
dalam rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka
pintu dan terimalah tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik
Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi
Allah Yang telah begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,”
pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah
begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu
dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku,
Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia.
Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu.
Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan
Allah padanya kepada orang yang berhak.”
Jawaban Junayd
ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku
telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri
membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang
istimewa dalam hatinya.
Junayd baru
berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah
syukur tengah dibahas oleh empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh
mengemukakan pandangannya.“ Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd. Junayd
berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan
menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan
karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya. “Bagus sekali, benar-benar
merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu. Keempat
ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik
daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd. “Anakku,” ujar Sarri, “segera
tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.” Junayd
menangis tatkala mendengan pamannnya berkata begitu. “Darimana engkau belajar?”
tanya Sarri. “Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu
kembali ke Baghdad
dan menjadi penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya,
menutup tirai toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan
meninggalkan tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana
ia menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”,
sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.
Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat
puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia
mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga
fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada
malam sebelumnya. Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan
merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara
terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku
untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”
Ketika aku
mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah
dilakukan oleh Junayd?” Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu?
Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang
engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya. Ia
berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan, segala perbuatan
baiknya adalah dosa.” Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik
“Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah
panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan kepada
Khalifah. “Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.
Mereka (Para
pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang
budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat
mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang
Khalifah memerintahkan agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan
perhiasan-perhiasan mahal. Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak
wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan
perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan
padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah
dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku,
agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.
Hatiku tidak
menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya.
Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui
Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan
apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang
budak wanita itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu
mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak. “Ah,”
serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak
wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang
menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang
memperlakukan orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya
tidak ia lihat.”
Sang Khalifah
kemudian bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh
seseorang yang tak dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh,
bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?” Junayd menjawab,
“Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu
besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun
kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa
aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu,
urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh
penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu
kali lipat. Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak
berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa
aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”
Ia berkata,
“Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh
tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak
mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun
tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga
puluh tahun, Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak
berada disana sama sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”
Junayd Berkhotbah
Saat lidah
Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi
mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak
ingin melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk
berkhotbah,” kata Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam,
Junayd bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun
bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun,
ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini,
engkau masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah.
Kini engakau harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah
dijadikan sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau
bicara saat para murid membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau bicara saat
para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara. Engkau juga
tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw.
Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus bicara.” “Ya Allah,
maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu
dengan Nabi Saw dalam mimpiku?” Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah
dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd
berkhotbah di atas mimbar’.” “Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid
kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh
orang.”
Suatu hari,
Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di
antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak
sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka
masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah.
Diantara hadirin ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang
mengetahui bahwa pemuda itu beragama Nasrani.
Pemuda itu
mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap
pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar
adalah engkau harus menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu,
kanena ini adalah acara khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim. Setelah
Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat menyuarakan penentangannya.
Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia
didesak untuk terus berkhotbah namun ia menolak. “Sudah cukup,” katanya. “Aku
tidak dapat mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd
naik ke mimbar dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya. “Kebijaksanaan
apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan
sebuah hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru
bicara suatu masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan
berkata pada mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara
kalian. Aku berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan
begitu, aku tidak menentang kata-kata beliau.”
Al-Jurairy
mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan
adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu
memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat
subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata,
‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia
menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”
Nasihat Spiritual Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. Syeikh Abul Oasim al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah —
berkata : “Semoga Allah mengkhususkan dirimu untuk taat kepada-Nya; memberi
peluang kepadamu untuk selaras dengan-Nya; menjadikanmu sebagai penghuni
kewalian-Nya; memilihmu untuk mahabbah cinta-Nya; mengegaskan dirimu untuk
menuju kepada-Nya; menetapkan padamu menurut ilmu kehendak-Nya; menjadikan
perbuatanmu dengan ilmu yang dikehendaki-Nya; mengembalikan dirimu untuk
memperhatikan pada kesimpulan pemahaman tentang Diri-Nya; menghalangi antara
dirimu dengan berbagai halangan yang memenggal dan rantai yang merintang;
menjadikan ucapan-ucapanmu diridhai di hadapan-Nya dan di sisi-Nya pula engkau
dalam keadaan bersih; mencukupkan dirimu upah setiap yang sibuk dengan-Nya;
memberi luang kepadamu untuk bakti kepada-Nya; menyenangkan dirimu dengan
memasrahkan persoalan kepada-Nya; menghalangi antara dirimu dari setiap
pencegah di jalan penempuhan kepada-Nya; dan menjadikan raja penolong pada
setiap hasratmu yang membuatmu tidak bahagia dalam Menempuh ridha-Nya di
sisi-Nya, sesungguhnya Dia adalah Pelimpah kenikmatan dan yang Mencukupi
berbagai hasrat kepentingan.
Seyogyanya bagi orang yang berakal
(sehat) untuk tidak mengabaikan salah satu dari tempat ini: Tempat dimana
seseorang apakah kondisi ruhaninya bertambah atau berkurang;
Tempat dimana ia berkhalwat dengan mendidik dirinya,
berdisiplinlah pada aturan yang harus dilakukannya (dan mendalami penyelidikan
pengetahuannya); Tempat dimana akalnya dihadirkan untuk memandang aturan-Nya;
bagaimana aturan-aturan bisa berbeda-beda; baik disaat telah malam mupun
disiang hari. Akal tidak bisa jernih manakala tidak mampu kondisi terakhir
tersebut, kecuali dengan menepati aturan yang seharusnya dilakukan dari
aturan-aturan pada kedua kondisi ruhani yang pertama.
Sementara tempat-tempat dimana ia
harus mengenal kondisi ruhaninya, apakah bertambah atau berkurang, ia harus
melakukan khalwat agar tidak direpotkan oleh gangguan kesibukan yang merusak
introspeksinya; yang kelak bisa dilanjutkan dengan arah menuju penyelarasan
disiplin penunaian kewajiban, dimana perilaku taqarrubnya tidak akan jernih
kecuali dengan memenuhi kewajiban-kewajiban fardhu.
Kemudian bangkit, sebagaimana
bangkitnya hamba di hadapan Tuhannya yang ingin melaksanakan perintah-Nya. Maka
pada saat demikian, terbukalah baginya rahasia-rahasia dirinya yang
tersembunyi. Ia akan tahu apakah ia termasuk orang yang telah menunaikan
kewajiban atau belum, kemudian ia tidak ragu dengan posisinya hingga adanya
bukti ilmu yang menyibaknya. Apabila ia melihat adanya cacat, segera
memperbaikinya, dan tidak menjalankan amal selain amal itu. Perilaku demikian
ini merupakan kondisi ahli shidq. “Dan Allah mengokohkan melalui
pertolongan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat
lagi Perkasa.” Sedangkan tempat-tempat khalwat untuk mendidik diri dan mendalam
kondisi pengetahuannya, maka seharusnya bagi yang menuju arah ini, dan ingin
mendapatkan nasihat dalam beramal — maka kadang-kadang berbagai hal itu menipu
dirinya — dimana batas sebenarnya tidak diketahui kecuali oleh orang yang
teliti mata hatinya. Apa sebenarnya yang terjadi di sana, berupa dorongan mencintai perbuatan
baik.
Sebab diri itu bila cenderung untuk
berbuat baik, akan menjadi etika pada dirinya, dan diri tenteram pada tempat
yang menjadi keahliannya, sekaligus ia akan membelot dengannya. Diri melihat
yang berlaku padanya, berupa tindakan kebaikan tersebut sebagai kemampuannya,
kemudian musuh yang mendiami. mengintai untuk menghancurkannya, mengalir
melalui tempat berjalannya darah. Musuh itu mengancam dengan kekuatan tipu
dayanya pada kealpaan yang tersembunyi, lalu ia merampasnya melalui kecondongan
hawa nafsu, yang tak ada lagi jalan kecuali melalui kondisi tersebut, bila ia
tidak merasakan rampasannya, ia mendorong dari dirinya dan mengenal dirinya
untuk lebih bergegas kembali kepada Dzat yang tidak bisa menjamin kecuali dengan-Nya.
Kemudian ia meneliti dirinya lebih mendalam seketika dimana musuh bisa
meraihnya. Lalu ia menjaganya dengan kenikmatan bersegera, mencari pertolongan
dan rasa butuh yang sangat serta mencari sandaran, sebagaimana Nabi yang mulia,
putra Nabi yang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin Ibrahim –alaihim as-salam:”Dan jika
tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh.” (Q.s. Yusuf: 33).
Yusuf as, mengetahui bahwa tipu
daya musuh dengan kekuatan hawa nafsu, tidak akan bisa dihindari dengan
kekuatan diri.”Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan
Yusuf dari tipu daya mereka. Sesunggahnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.s. Yusuf: 34).
Adapun tempat-tempat yang menjadi
tempat presentasi akalnya untuk memandang tempat berlakunya aturan hukum, dan
bagaimana Dia membalik aturan, adalah tempat paling utama dan paling luhur.
Sebab Allah swt. memerintahkan seluruh makhluk-Nya agar terus-menerus beribadah
dan tidak bosan-bosan berbakti kepada-Nya. Firman-Nya:”Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.s.
Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan para hamba itu mendapatkan
jaminan di dunia, sementara di akhirat mendapatkan pahala. Allah swt.
berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah, dan sujudlah, serta
sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan agar kamu mendapatkan kebahagiaan.”
(Q.s. Al-Hajj: 77).
Semua itu merupakan ibadah yang
diharuskan kepada semua makhluk, dan Dia menetapkan agar diketahui bagaimana
aturan-aturan itu dilaksanakan. Allah swt. juga memaparkan keluhuran ilmu dan
pengetahuan. Dia berfirman, “Setiap hari Dia dengan urusan.” (Q.s. Ar-Rahman:
29). Yakni urusan makhluk.
Engkau — wahai orang yang berdiri teguh — agar selalu
melihat bahwa dirimu merupakan makhluk dengan urusannya. Apakah engkau
mengetahui perilakumu itu diridhai di sisi-Nya? Tak seorang pun mampu
menghadirkan akalnya kecuali dengan memalingkan diri dari dunia dan seisinya
(di sisi-Nya), keluar dari arah-Nya. Apabila dunia usai, hangus, dan hangus
pula penghuninya, berpaling dari hati, maka menjadi sunyi dengan bercakap-cakap
pada pelaksanaan dan beragamnya aturan serta rincian pembagian.
Hati tidak akan kembali, pada suatu
yang sifatnya mengambil manfaat dari dunia ini yang mana, hati telah keluar dan
lari dari dunia.
Tidakkah engkau melihat ketika Haritsah berkata, “Diriku
telah jemu dari dunia.” Kemudian ia melanjutkan, “Seakan aku melihat Arasy
Tuhanku begitu jelas. Seakan-akan aku saling mengunjungi antara ahli surga,
seakan-akan, seakan…” Demikianlah kondisi sebagian kaum Sufi.
Oleh sebab itu, wahai saudaraku,
berhasratlah beramal untuk menyelamatkan dirimu, keikhlasan pembebasan diri
dari perbudakan nafsu yang hina, dan menyelamatkan diri dari bercakap-cakap
pada penghuni dunia. Setiap jiwa yang merasakan lalainya kealpaan setetes saja,
pasti akan ditimpa kekerasan hati yang memabukkan akal dan menghanguskan
pengetahuan, fitnah akan masuk dengan cara yang halus. Siapa yang membuka tutup
bencana, akan terbuka pula tutup kandungan. Ia tidak akan menikmati sepoi-sepoi
lezatnya beramal.
Sungguh bahagia kaum yang memandang
mereka, mengikuti mereka dan menunjukkan mereka jalan yang ringkas. Mendudukkan
mereka pada argumentasi yang menyelamatkan, memberi cahaya dakwah mereka untuk
memahami yang tersembunyi, melalui diskusi pemahaman perintah, ketika Allah
swt. berfirman:”Bergegaslah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu, dan surga yang
luasnya seluas langit dan bagi yang disediakan bagi orang-orang yang takwa.”
(Q.s. Ali Imran: 133).
Kemudian akal bangkit yang disertai
semangat fisik dengan pengarahan yang baik, untuk menegakkan apa yang menjadi
bagian mereka di hadapan orang yang peduli pada ajakannya, dan mata menjadi
sejuk dan gembira karena apa yang telah disampaikan kepada mereka melalui
khalwat. Maka ia pun berkhalwat bersama mereka yang tidak senang menempuh jalan
selain jalan-Nya, tidak ber-tawassul kepada-Nya kecuali dengan-Nya, dan mereka
tidak meminta sesuatu kecuali agar dilangsungkan khidmah kepada-Nya,
pertolongan yang baik dalam berselaras dengan-Nya.
Para
musuh putus asa dengan mereka, wibawa hawa nafsu telah mati di hadapan mereka,
sedangkan mata cinta menyejukkan mereka. Mereka tidak ingin meraih apa-apa yang
lebih besar dibanding apa yang diraihnya, tidak ingin memperoleh nikmat
dibanding apa yang telah dianugerahkan kepada mereka, tidak pula menginginkan
daya. Mereka dijernihkan oleh ilmu, dan muamalah (ibadah) telah mendidik
mereka, sementara mereka dimuliakan oleh sikap memastikan hanya kepada Allah
Ta’ala dan mereka tidak membutuhkan selain kepada-Nya. Mereka adalah para yang
dicari Allah dan pencari-Nya; pecinta Allah dan kekasih-kekasih-Nya.
Orang-orang berhasrat rindu memandang mereka, dan merasa rugi berpisah dengan
mereka, dan amat gembira bisa berbicara dengan mereka. Allah menghendaki mereka
dan mereka pun menghendaki-Nya, mereka mencari Allah dan mereka pun
menemukan-Nya.Maka, barangsiapa ingin selamat, bergegaslah meraih ruh
kehidupan, dengan mencari hubungan pada anugerah-Nya. Karena sesungguhnya Allah
itu adalah harapan para wali, cita-cita para cendekiawan, yang dicari
orang-orang Sufi. Kalau bukan karena-Nya, mereka pun tak akan mendapatkan
petunjuk menuju kepada-Nya.
Siapa yang — Allah –menyebut mereka,
Allah akan menunjukkan kepada-Nya. Petunjuk itu tidak menghimpit hati mereka,
dan Allah tidak memberi beban yang tidak kuat untuk dilakukan oleh mereka yang
lain, bahkan Allah tidak menjauhi mereka dan tidak menyingkirkan jiwa-jiwa
mereka. Allah tidak menyiksa mereka atas kelalaian mereka. Bahkan memberi
nikmat mereka melalui penerimaan udzur ketika menerima mereka, memaafkan atas
ketidakmampuan fisik mereka, dan mendudukkan mereka dengan persahabatan yang
indah. Memperkuat komitmen mereka dengan tradisi generasi ummat-ummat terdahulu
dengan beban yang baik. Membersihkan mereka dari azab yang dahsyat, memberi
petunjuk mereka jalan syukur dan ridha di sisi-Nya, mengasihi antara mereka dan
para pengamat keserupaan dan problema. Allah menjaga hati, mata dan pendengaran
mereka dari mendekat pada kebinasaan. Dan mereka pun menjaga diri dari
membincangkan sesuatu dari kebinasaan; Sesuatu yang merusak, dan tragedi dunia
menjadi sesuatu yang hina di mata mereka. Mereka merasa senang atas pilihan
yang diberikan Wali mereka. Taqarrub mereka adalah penyucian, tasbih,
pambagusan, dan tahlil. Rasa senang dan sejuk mereka ada pada ketika mereka
bermunajat. Tak ada yang menghalangi mereka ketika Mereka bertemu dengan-Nya di
akhirat.
Bahwasanya, makhluk itu terputus dari
Allah Azza wa Jalla, karena mereka mengikuti hawa nafsu, patuh pada
lawan-lawannya, membincangkan bunga-bunga dunia, memprioritas apa yang
menghancurkan dan meninggalkan apa yang mengabadikan.Karena itu bergegaslah
saudaraku, untuk memperbaiki kesalahan umur yang berlalu, kealpaan dan
penyimpangan serta kelambatan, dalam, rangka menjaga sisa usiamu dengan cara
bangkit, takut, tekun, waspada sebelum waktu berlalu, datangnya maut. Sebab
Allah tidak ridha kepada generasi sesudahnya kecuali beramal sebagaimana amal
yang diridhai pada generasi sebelumnya. Karena itu leluaskanlah dirimu dalam
pembebasan belenggu dengan menanggalkan pakaian yang merepotkan. Sebab suatu
hari Allah swt. akan membuka segala aib, pada hari itu amal-amal ditampakkan.
Hari, dimana seorang saksi atau teman, tidak bisa menolong dengan amalnya, dan
tak seorang pun mengharapkan, kecuali pada pengampunan dan maaf dari Tuhannya.
Suatu hari, yang begitu banyak penyesalannya, begitu kuat caciannya.
Mulai saat ini, semampang
permintaan maaf diterima dan waktu masih luang, amal masih terbentang, tobat
masih diterima, dosa bisa dihapus oleh inabah, penyesalan dan kata-kata masih
didengar, kebajikan masih diikuti, kebenaran masih jelas, jalan begitu
gamblang, dan hujjah masih kokoh.Hujjah yang benar itu hanya bagi Allah,
seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepadamu semua.
Sedangkan pengaruh kehendak hidayah itu sangat jelas di mata orang yang
mendapatkan hidayah. Di antara tanda orang yang mendapatkan hidayah adalah
memiliki sifat-sifat, antara lain ringan taat, “Cinta penyelarasan dengan-Nya,
melihat diri sendiri dengan mata hina, memutuskan diri untuk menegakkan
kewajiban, kasih sayang, persaudaraan, penyucian, saling mencintai, saling
menolong, memprioritaskan kepada ahli taqarrub dan mereka yang menuju Dzat
Allah Azza wa Jalla dibanding diri mereka sendiri, memberi bantuan kepada ahli
kewalian, bergerak menjauhi perkara yang diharamkan Allah, ridha yang disertai
sabar atas persoalan yang berlalu, merasa ringan dan ringan dalam memberi upah,
teliti, detil serta hati-hati, dan menghargai waktu.
Berpijak pada sikap yang ala
kadarnya dalam memberikan kegembiraan kepada orang lain, bergaul dan duduk
bersama mereka. Tidak mengungul-ungulkan mereka, yang dalam konteks ini, Allah
berwasiat kepada Nabiyullah saw.:”Dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Q.s. Al-khafi
:28)
Semoga Allah menjadikan kami dan
kalian tergolong orang yang mengetahui Hak Allah dan mengamalkannya. Sibuk
dengan Hak Allah dan tidak disibukkan oleh faktor yang mengabaikan Hak Allah
itu. Semoga Allah melindungi kami dan engkau, sepanjang perlindungan-Nya kepada
kita serta memperbagus pertolongan-Nya kepada kita. Hendaknya engkau
benar-benar menunaikan syukur dan melanggengkan dzikir. Dia-lah Pelimpah
Kebajikan, Yang Menjanjikan surga bagi hamba-Nya, dan Mengancam mereka dengan
neraka,Kitab ini selesai seiring dengan memuji Allah dan anugerah-Nya. Semoga
shalawat dan salamnya terlimpah kepada junjungan kita Muhammad dan seluruh
keluarganya.
—(ooo)—
super sekali
BalasHapusthanks atas infonya guys sekarang aq bisa buat tugas dari guru aq
BalasHapusthanks for attention
Alhamdulillah
BalasHapussubhanallah...
BalasHapusMasyaalloh...
BalasHapusJazaakumulloh
Masyaalloh...
BalasHapusJazaakumulloh
Masyaalloh...
BalasHapusJazaakumulloh