Minggu, 04 November 2012

Biografi Syeikh Junaedi Al Baghdadi



Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam. Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.

Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.

Masa Kecil Junayd al-Baghdadi

Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd. “Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata Junayd.
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang yang berhak.”
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.

Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.“ Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd. Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya. “Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu. Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd. “Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.” Junayd menangis tatkala mendengan pamannnya berkata begitu. “Darimana engkau belajar?” tanya Sarri. “Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”, sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.

Junayd Menunjukkan Bukti

Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya. Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?” Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya. Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya adalah dosa.” Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan kepada Khalifah. “Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal. Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.
Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya. Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak. “Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia lihat.”
Sang Khalifah kemudian bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?” Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat. Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”

Junayd Berkhotbah

Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
 Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau bicara saat para murid membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus bicara.” “Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?” Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd berkhotbah di atas mimbar’.” “Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh orang.”
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda itu beragama Nasrani.
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim. Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia menolak. “Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya. “Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang kata-kata beliau.”
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”

 

Nasihat Spiritual Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Syeikh Abul Oasim al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah — berkata : “Semoga Allah mengkhususkan dirimu untuk taat kepada-Nya; memberi peluang kepadamu untuk selaras dengan-Nya; menjadikanmu sebagai penghuni kewalian-Nya; memilihmu untuk mahabbah cinta-Nya; mengegaskan dirimu untuk menuju kepada-Nya; menetapkan padamu menurut ilmu kehendak-Nya; menjadikan perbuatanmu dengan ilmu yang dikehendaki-Nya; mengembalikan dirimu untuk memperhatikan pada kesimpulan pemahaman tentang Diri-Nya; menghalangi antara dirimu dengan berbagai halangan yang memenggal dan rantai yang merintang; menjadikan ucapan-ucapanmu diridhai di hadapan-Nya dan di sisi-Nya pula engkau dalam keadaan bersih; mencukupkan dirimu upah setiap yang sibuk dengan-Nya; memberi luang kepadamu untuk bakti kepada-Nya; menyenangkan dirimu dengan memasrahkan persoalan kepada-Nya; menghalangi antara dirimu dari setiap pencegah di jalan penempuhan kepada-Nya; dan menjadikan raja penolong pada setiap hasratmu yang membuatmu tidak bahagia dalam Menempuh ridha-Nya di sisi-Nya, sesungguhnya Dia adalah Pelimpah kenikmatan dan yang Mencukupi berbagai hasrat kepentingan.
Seyogyanya bagi orang yang berakal (sehat) untuk tidak mengabaikan salah satu dari tempat ini: Tempat dimana seseorang apakah kondisi ruhaninya bertambah atau berkurang;
Tempat dimana ia berkhalwat dengan mendidik dirinya, berdisiplinlah pada aturan yang harus dilakukannya (dan mendalami penyelidikan pengetahuannya); Tempat dimana akalnya dihadirkan untuk memandang aturan-Nya; bagaimana aturan-aturan bisa berbeda-beda; baik disaat telah malam mupun disiang hari. Akal tidak bisa jernih manakala tidak mampu kondisi terakhir tersebut, kecuali dengan menepati aturan yang seharusnya dilakukan dari aturan-aturan pada kedua kondisi ruhani yang pertama.
Sementara tempat-tempat dimana ia harus mengenal kondisi ruhaninya, apakah bertambah atau berkurang, ia harus melakukan khalwat agar tidak direpotkan oleh gangguan kesibukan yang merusak introspeksinya; yang kelak bisa dilanjutkan dengan arah menuju penyelarasan disiplin penunaian kewajiban, dimana perilaku taqarrubnya tidak akan jernih kecuali dengan memenuhi kewajiban-kewajiban fardhu.
Kemudian bangkit, sebagaimana bangkitnya hamba di hadapan Tuhannya yang ingin melaksanakan perintah-Nya. Maka pada saat demikian, terbukalah baginya rahasia-rahasia dirinya yang tersembunyi. Ia akan tahu apakah ia termasuk orang yang telah menunaikan kewajiban atau belum, kemudian ia tidak ragu dengan posisinya hingga adanya bukti ilmu yang menyibaknya. Apabila ia melihat adanya cacat, segera memperbaikinya, dan tidak menjalankan amal selain amal itu. Perilaku demikian ini merupakan kondisi ahli shidq. “Dan Allah mengokohkan melalui pertolongan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Perkasa.” Sedangkan tempat-tempat khalwat untuk mendidik diri dan mendalam kondisi pengetahuannya, maka seharusnya bagi yang menuju arah ini, dan ingin mendapatkan nasihat dalam beramal — maka kadang-kadang berbagai hal itu menipu dirinya — dimana batas sebenarnya tidak diketahui kecuali oleh orang yang teliti mata hatinya. Apa sebenarnya yang terjadi di sana, berupa dorongan mencintai perbuatan baik.
Sebab diri itu bila cenderung untuk berbuat baik, akan menjadi etika pada dirinya, dan diri tenteram pada tempat yang menjadi keahliannya, sekaligus ia akan membelot dengannya. Diri melihat yang berlaku padanya, berupa tindakan kebaikan tersebut sebagai kemampuannya, kemudian musuh yang mendiami. mengintai untuk menghancurkannya, mengalir melalui tempat berjalannya darah. Musuh itu mengancam dengan kekuatan tipu dayanya pada kealpaan yang tersembunyi, lalu ia merampasnya melalui kecondongan hawa nafsu, yang tak ada lagi jalan kecuali melalui kondisi tersebut, bila ia tidak merasakan rampasannya, ia mendorong dari dirinya dan mengenal dirinya untuk lebih bergegas kembali kepada Dzat yang tidak bisa menjamin kecuali dengan-Nya. Kemudian ia meneliti dirinya lebih mendalam seketika dimana musuh bisa meraihnya. Lalu ia menjaganya dengan kenikmatan bersegera, mencari pertolongan dan rasa butuh yang sangat serta mencari sandaran, sebagaimana Nabi yang mulia, putra Nabi yang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin Ibrahim –alaihim as-salam:”Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Yusuf: 33).
Yusuf as, mengetahui bahwa tipu daya musuh dengan kekuatan hawa nafsu, tidak akan bisa dihindari dengan kekuatan diri.”Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesunggahnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Yusuf: 34).
Adapun tempat-tempat yang menjadi tempat presentasi akalnya untuk memandang tempat berlakunya aturan hukum, dan bagaimana Dia membalik aturan, adalah tempat paling utama dan paling luhur. Sebab Allah swt. memerintahkan seluruh makhluk-Nya agar terus-menerus beribadah dan tidak bosan-bosan berbakti kepada-Nya. Firman-Nya:”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.s. Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan para hamba itu mendapatkan jaminan di dunia, sementara di akhirat mendapatkan pahala. Allah swt. berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah, dan sujudlah, serta sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan agar kamu mendapatkan kebahagiaan.” (Q.s. Al-Hajj: 77).
Semua itu merupakan ibadah yang diharuskan kepada semua makhluk, dan Dia menetapkan agar diketahui bagaimana aturan-aturan itu dilaksanakan. Allah swt. juga memaparkan keluhuran ilmu dan pengetahuan. Dia berfirman, “Setiap hari Dia dengan urusan.” (Q.s. Ar-Rahman: 29). Yakni urusan makhluk.
Engkau — wahai orang yang berdiri teguh — agar selalu melihat bahwa dirimu merupakan makhluk dengan urusannya. Apakah engkau mengetahui perilakumu itu diridhai di sisi-Nya? Tak seorang pun mampu menghadirkan akalnya kecuali dengan memalingkan diri dari dunia dan seisinya (di sisi-Nya), keluar dari arah-Nya. Apabila dunia usai, hangus, dan hangus pula penghuninya, berpaling dari hati, maka menjadi sunyi dengan bercakap-cakap pada pelaksanaan dan beragamnya aturan serta rincian pembagian.
Hati tidak akan kembali, pada suatu yang sifatnya mengambil manfaat dari dunia ini yang mana, hati telah keluar dan lari dari dunia.
Tidakkah engkau melihat ketika Haritsah berkata, “Diriku telah jemu dari dunia.” Kemudian ia melanjutkan, “Seakan aku melihat Arasy Tuhanku begitu jelas. Seakan-akan aku saling mengunjungi antara ahli surga, seakan-akan, seakan…” Demikianlah kondisi sebagian kaum Sufi.
Oleh sebab itu, wahai saudaraku, berhasratlah beramal untuk menyelamatkan dirimu, keikhlasan pembebasan diri dari perbudakan nafsu yang hina, dan menyelamatkan diri dari bercakap-cakap pada penghuni dunia. Setiap jiwa yang merasakan lalainya kealpaan setetes saja, pasti akan ditimpa kekerasan hati yang memabukkan akal dan menghanguskan pengetahuan, fitnah akan masuk dengan cara yang halus. Siapa yang membuka tutup bencana, akan terbuka pula tutup kandungan. Ia tidak akan menikmati sepoi-sepoi lezatnya beramal.
Sungguh bahagia kaum yang memandang mereka, mengikuti mereka dan menunjukkan mereka jalan yang ringkas. Mendudukkan mereka pada argumentasi yang menyelamatkan, memberi cahaya dakwah mereka untuk memahami yang tersembunyi, melalui diskusi pemahaman perintah, ketika Allah swt. berfirman:”Bergegaslah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu, dan surga yang luasnya seluas langit dan bagi yang disediakan bagi orang-orang yang takwa.” (Q.s. Ali Imran: 133).
Kemudian akal bangkit yang disertai semangat fisik dengan pengarahan yang baik, untuk menegakkan apa yang menjadi bagian mereka di hadapan orang yang peduli pada ajakannya, dan mata menjadi sejuk dan gembira karena apa yang telah disampaikan kepada mereka melalui khalwat. Maka ia pun berkhalwat bersama mereka yang tidak senang menempuh jalan selain jalan-Nya, tidak ber-tawassul kepada-Nya kecuali dengan-Nya, dan mereka tidak meminta sesuatu kecuali agar dilangsungkan khidmah kepada-Nya, pertolongan yang baik dalam berselaras dengan-Nya.
Para musuh putus asa dengan mereka, wibawa hawa nafsu telah mati di hadapan mereka, sedangkan mata cinta menyejukkan mereka. Mereka tidak ingin meraih apa-apa yang lebih besar dibanding apa yang diraihnya, tidak ingin memperoleh nikmat dibanding apa yang telah dianugerahkan kepada mereka, tidak pula menginginkan daya. Mereka dijernihkan oleh ilmu, dan muamalah (ibadah) telah mendidik mereka, sementara mereka dimuliakan oleh sikap memastikan hanya kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak membutuhkan selain kepada-Nya. Mereka adalah para yang dicari Allah dan pencari-Nya; pecinta Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Orang-orang berhasrat rindu memandang mereka, dan merasa rugi berpisah dengan mereka, dan amat gembira bisa berbicara dengan mereka. Allah menghendaki mereka dan mereka pun menghendaki-Nya, mereka mencari Allah dan mereka pun menemukan-Nya.Maka, barangsiapa ingin selamat, bergegaslah meraih ruh kehidupan, dengan mencari hubungan pada anugerah-Nya. Karena sesungguhnya Allah itu adalah harapan para wali, cita-cita para cendekiawan, yang dicari orang-orang Sufi. Kalau bukan karena-Nya, mereka pun tak akan mendapatkan petunjuk menuju kepada-Nya.
Siapa yang — Allah –menyebut mereka, Allah akan menunjukkan kepada-Nya. Petunjuk itu tidak menghimpit hati mereka, dan Allah tidak memberi beban yang tidak kuat untuk dilakukan oleh mereka yang lain, bahkan Allah tidak menjauhi mereka dan tidak menyingkirkan jiwa-jiwa mereka. Allah tidak menyiksa mereka atas kelalaian mereka. Bahkan memberi nikmat mereka melalui penerimaan udzur ketika menerima mereka, memaafkan atas ketidakmampuan fisik mereka, dan mendudukkan mereka dengan persahabatan yang indah. Memperkuat komitmen mereka dengan tradisi generasi ummat-ummat terdahulu dengan beban yang baik. Membersihkan mereka dari azab yang dahsyat, memberi petunjuk mereka jalan syukur dan ridha di sisi-Nya, mengasihi antara mereka dan para pengamat keserupaan dan problema. Allah menjaga hati, mata dan pendengaran mereka dari mendekat pada kebinasaan. Dan mereka pun menjaga diri dari membincangkan sesuatu dari kebinasaan; Sesuatu yang merusak, dan tragedi dunia menjadi sesuatu yang hina di mata mereka. Mereka merasa senang atas pilihan yang diberikan Wali mereka. Taqarrub mereka adalah penyucian, tasbih, pambagusan, dan tahlil. Rasa senang dan sejuk mereka ada pada ketika mereka bermunajat. Tak ada yang menghalangi mereka ketika Mereka bertemu dengan-Nya di akhirat.
Bahwasanya, makhluk itu terputus dari Allah Azza wa Jalla, karena mereka mengikuti hawa nafsu, patuh pada lawan-lawannya, membincangkan bunga-bunga dunia, memprioritas apa yang menghancurkan dan meninggalkan apa yang mengabadikan.Karena itu bergegaslah saudaraku, untuk memperbaiki kesalahan umur yang berlalu, kealpaan dan penyimpangan serta kelambatan, dalam, rangka menjaga sisa usiamu dengan cara bangkit, takut, tekun, waspada sebelum waktu berlalu, datangnya maut. Sebab Allah tidak ridha kepada generasi sesudahnya kecuali beramal sebagaimana amal yang diridhai pada generasi sebelumnya. Karena itu leluaskanlah dirimu dalam pembebasan belenggu dengan menanggalkan pakaian yang merepotkan. Sebab suatu hari Allah swt. akan membuka segala aib, pada hari itu amal-amal ditampakkan. Hari, dimana seorang saksi atau teman, tidak bisa menolong dengan amalnya, dan tak seorang pun mengharapkan, kecuali pada pengampunan dan maaf dari Tuhannya. Suatu hari, yang begitu banyak penyesalannya, begitu kuat caciannya.
Mulai saat ini, semampang permintaan maaf diterima dan waktu masih luang, amal masih terbentang, tobat masih diterima, dosa bisa dihapus oleh inabah, penyesalan dan kata-kata masih didengar, kebajikan masih diikuti, kebenaran masih jelas, jalan begitu gamblang, dan hujjah masih kokoh.Hujjah yang benar itu hanya bagi Allah, seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepadamu semua. Sedangkan pengaruh kehendak hidayah itu sangat jelas di mata orang yang mendapatkan hidayah. Di antara tanda orang yang mendapatkan hidayah adalah memiliki sifat-sifat, antara lain ringan taat, “Cinta penyelarasan dengan-Nya, melihat diri sendiri dengan mata hina, memutuskan diri untuk menegakkan kewajiban, kasih sayang, persaudaraan, penyucian, saling mencintai, saling menolong, memprioritaskan kepada ahli taqarrub dan mereka yang menuju Dzat Allah Azza wa Jalla dibanding diri mereka sendiri, memberi bantuan kepada ahli kewalian, bergerak menjauhi perkara yang diharamkan Allah, ridha yang disertai sabar atas persoalan yang berlalu, merasa ringan dan ringan dalam memberi upah, teliti, detil serta hati-hati, dan menghargai waktu.
Berpijak pada sikap yang ala kadarnya dalam memberikan kegembiraan kepada orang lain, bergaul dan duduk bersama mereka. Tidak mengungul-ungulkan mereka, yang dalam konteks ini, Allah berwasiat kepada Nabiyullah saw.:”Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Q.s. Al-khafi :28)
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian tergolong orang yang mengetahui Hak Allah dan mengamalkannya. Sibuk dengan Hak Allah dan tidak disibukkan oleh faktor yang mengabaikan Hak Allah itu. Semoga Allah melindungi kami dan engkau, sepanjang perlindungan-Nya kepada kita serta memperbagus pertolongan-Nya kepada kita. Hendaknya engkau benar-benar menunaikan syukur dan melanggengkan dzikir. Dia-lah Pelimpah Kebajikan, Yang Menjanjikan surga bagi hamba-Nya, dan Mengancam mereka dengan neraka,Kitab ini selesai seiring dengan memuji Allah dan anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salamnya terlimpah kepada junjungan kita Muhammad dan seluruh keluarganya.
—(ooo)—


7 komentar: